Tuhan
Oleh: Janet Prastha C.
Kamu percaya Tuhan itu ada? Aku
percaya. Meski aku tak dapat melihatNya, meski aku tak pernah merasakan
sentuhan tanganNya, belaian hangatNya atau kontak fisik lainnya namun aku
percaya bahwa Ia nyata. Bahkan disaat seperti ini.
Tanganku terasa dingin dan beku. Aku tak bisa
menggerakan sekujur tubuhku. Aku masih dapat mendengar sayup-sayup suara dokter
yang menyuruh suster dengan alat ini atau alat itu dan aku masih bisa mendengar
sayup-sayup tangisan keras mama yang tak terkontrol.
Aku juga masih dapat melihat walau
samar-samar. Aku bisa melihat papa sedang memegangi mama yang menangis dan
berteriak. Mama sungguh tak terkontrol, aku tahu dari caranya berusaha
melepaskan diri dari pelukan papa. Papa juga menangis, sama seperti mama, hanya
dia lebih dapat menguasai emosinya. Aku tahu papa juga pasti merasakan
kesedihan yang sama dengan mama. Rasanya aku ingin tersenyum kepada mereka
berdua dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja tapi aku tidak bisa, mulutku tidak
dapat bergerak.
Nafasku tersenggal-senggal. Aku dapat
merasakan itu. Aku tak tahu apakah ajalku mulai datang. Yang aku tahu
suara-suara disekitarku mulai memelan. Mataku juga mulai terpejam dengan
sendirinya. Aku mulai merasakan damai dan hangat bercampur menjadi satu. Apakah
aku sudah meninggal? Aku tak tahu.
*************
Sehari sebelumnya.
Aku terbangun dari tidurku dan
melihat mama menatapku dengan mata sembabnya. Ia tersenyum tipis dan aku
membalas senyumnya. Lingkaran hitam di kantung matanya semakin jelas. Rambutnya
berantakan dan kurasa ia tidak akan membereskan rambutnya dengan segera.
Penampilannya bahkan lebih buruk dariku yang sedang sakit ini.
"Mama, aku baik-baik saja. Mama
sudah tidur?" Suaraku terdengar pelan dan yakin. Aku tahu mama tidak
mempercayai hal itu melihat kondisiku yang kurasa semakin memburuk.
Mama menggangguk pelan dan tersenyum
sekali lagi. Ia membelai rambutku yang hampir botak dengan lembut. Tangannya
masih lembut seperti biasa, hanya semakin kurus. Ia terlalu letih dan tidak
peduli dengan keadaannya lagi. Ia lebih mementingkan aku.
"Mama sudah tidur nyenyak sayang" ia
menjawabku dengan suara parau dan serak. Aku kehilangan suara lembutnya yang
dulu. Mama terlihat sangat capai. Mukanya menunjukkan seperti itu. Ia tidak
dandan seperti dahulu, namun mamaku adalah wanita yang cantik, seperti apapun keadaannya,
ia tetap cantik.
"Benarkah?" Aku bertanya
sekali lagi. Sebenarnya aku sudah tahu bahwa mama tak tertidur tadi malam.
Kalaupun ia tertidur tapi itu tidaklah lama. Hanya 15 menit atau kurang. Ia
lebih sering menangis. Andai aku dapat hidup lebih lama, tentu aku sangat
bahagia jika bisa menyeka tangisnya dengan senyum ceria dan tawa kebebasan. Aku
ingin membahagiakan mama dengan hidupku itulah cita-citaku. Tapi aku tak tahu
sampai kapan aku dapat bertahan.
"Mama sungguh-sungguh, Abel.
Sebentar lagi papa pulang dari kantor dan langsung menuju kesini untuk
bergantian menjaga kamu." Aku melihat ke arah jam di ruang rawat inap ku.
Pukul 4 sore dan itu berarti papa sudah pulang. Aku bersyukur karena papa
memiliki kedudukan sehingga "bebas" ijin kapan saja. Dan aku
bersyukur memiliki papa dan mama yang begitu tegar dan kuat seperti superman.
Tidak, mereka lebih dari itu. Mereka selalu berusaha terlihat biasa saja walau
aku tahu hati mereka hancur melihatku seperti ini.
"Tadi Ibu Ratna datang kemari
saat kau tidur. Ia bersama dengan teman-temanmu, Sarah, Tommy, Rachel , Maya
dan Vincent. Mereka membawa boneka dan gambar ini." Mama membuka laci meja
disebelah tempat tidurku lalu mengeluarkan kertas berukuran A4 yang
digulung-gulung. Aku membukanya dan melihat gambar serta tulisan-tulisan
penyemangat dari teman-temanku. Aku menitikkan air mata. Sungguh aku rindu
kembali bersekolah dan bermain dengan mereka. Aku rindu pergi ke kantin bersama
Rachel dan Sarah. Aku rindu perang mulut dengan Tommy dan Vincent. Aku rindu
Maya yang memonyongkan mulutnya jika aku mendapat nilai lebih tinggi
daripadanya. Aku rindu semua teman-temanku.
"Aku pasti sembuh ma, aku mau
bermain dengan mereka." Tegasku. Mama menangis tertahan mendengar
pernyataanku. Kami berdua tahu bahwa penyakit ini sudah merenggut badanku.
Mr.Steve, dokterku, bilang kalau kami tinggal menghitung hari. Aku masih ingat
mama pingsan saat mendengar hal itu. Papa menangis tak bersuara. Aku menutup
mulutku dan berteriak histeris. Aku sempat tak percaya Tuhan saat itu. Aku
kecewa, kami kecewa. Namun, kami seperti orang bodoh karena tak menerima
kehendak-Nya. Bagaimanapun Dia tidak pernah salah. Jika memang Ia berkehendak
seperti ini aku harus menerimanya dan percaya bahwa hal ini adalah bagian dari
rencanaNya dan pasti berujung bahagia, entah apa ujungnya.
"Iya... Kamu pasti sembuh ya
sayang." Air mata mama mulai mengalir deras. "Mama ke toilet dulu ya
sayang." Mama mulai terisak ditoilet. Aku dapat mendengarnya karena
kamarku dilengkapi dengan fasilitas toilet. Aku tersenyum tipis. aku mengambil
boneka beruang cokelat berukuran sedang pemberian teman-temanku dan
memainkannya.
"Tuhan, aku tak tahu apa
maksudMu dengan semua ini. Tapi Tuhan, jika aku tak ada nanti, aku tak mau papa
dan mama yang sudah sangat berjasa bagiku terpuruk terus-menerus. Engkau tahu
mereka mencintaiku dengan sangat. Jadi tolong Tuhan, aku terima apapun rencanaMu,
hanya satu yang aku minta, teruskanlah cita-citaku untuk membahagiakan mereka,
apapun caraMu buatlah mereka bahagia. Berilah mereka penggantiku. Tuhan,
akankah aku sembuh?" Bisikku. Aku tersenyum tipis dan air mata mulai
menetes turun dari mataku ke pipiku. Aku memeluk boneka beruang itu lalu
menangis tak bersuara. Tuhan tak pernah menjawab pertanyaanku yang satu itu.
Sudah sebulan aku dirawat disini dan Ia menjawab doaku. Aku ingin teman-temanku
datang dan Ia menjawabnya. Namun, yang satu ini, Ia tak pernah menjawabku. Aku
tak meragukan kuasaNya, sungguh. Hanya aku terkadang terpuruk begitu mengingat
bahwa aku hanya hidup 7 tahun didunia.
****************
"Dokter, tolong. Berapa lama
lagi ia dapat bertahan?" Aku mendengar suara mama. Mama tak tahu bahwa aku
sudah bangun dan aku lebih memilih berpura-pura tidur dan mendegar pembicaraan
mereka. Aku tahu mama tak akan bercerita kepadaku tentang hal ini.
"Saya pun tidak tahu Mrs. Kami
sudah angkat tangan, hanya Tuhan yang tahu sampai kapan gadis kecil ini akan
bertahan." Aku membalikkan badanku dan masih berpura-pura tertidur. Aku
mengintip sedikit, dokter menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan.
"Separah itukah penyakitnya,
Dok?" Mama mulai menahan air matanya. Jantungku berdebar cepat. Aku juga
takut mendengar jawaban dokter. Tuhan, apakah ini jawabanMu atas pertanyaanku tadi?
Aku bertanya dalam hati.
"Anda tahu Mrs, bahwa penyakit
lupus adalah penyakit yang mematikan setara dengan kanker. Ini juga adalah sebuah
mujizat ia dapat bertahan 14 hari lebih lama dari waktu yang kami perkirakan
sebelumnya." Dokter tersenyum tipis. Aku menahan tangis. Penyakit
ini sungguh merenggut semuanya dariku. Rambut hitam lebat panjangku yang indah
kini tinggal beberapa helai saja karena rontok yang aku alami akibat gejala
penyakit ini, pipiku yang putih merona sekarang banyak bercak merah mengerikan.
Kulitku yang bersih dan putih terawat menjadi hitam karena tak kuat menahan
sinar matahari ,yang dulu sangat kusukai, dan tertutupi bercak-bercak merah
sepertibercak-bercak merah di wajahku. Aku sangat menyeramkan. Penglihatanku
juga berkurang, sungguh, aku tak tahu sampai kapan aku hidup. Penyakit ini
sudah merambah ke organ dalamku. Entah kemana, mama dan papa tak mau memberitahuku.
"Saya tahu, Dok. Tapi apakah ada
cara lain? Saya mohon." Aku mendengar suara mama mulai gemetar. Aku tahu
ia akan menangis lagi dan semua ini karena penyakitku.
"Maaf Mrs, saya sudah mencoba
semampu dan seterbaik yang saya bisa. Saya baru pernah menangani kasus seperti
ini. Ini adalah yang pertama bagi saya." Mama menundukkan kepalanya dan
menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia mulai terisak. Papa mengelus-elus
pundak mama.
"Justru karena ini yang pertama
maka Anda harus bisa menyembuhkan putri tunggal saya." Papa angkat bicara.
Aku membalikkan badanku membelakangi mereka. Aku menahan nafasku. Tuhan tolong
aku.
"Saya sudah berusaha, saya sudah
sangat berusaha, tolong percayalah. Tapi untuk sekarang, hanya Tuhan yang tahu
bagaimana kelanjutan dari semua ini. Tim medis sudah berusaha semaksimal
mungkin dan ini adalah perawatan termaksimal tapi penyakitnya sudah melampaui
batas maksimal kami." Mr.Steve, dokterku, menunduk lalu meminta diri untuk
keluar kamarku dan memeriksa pasien lainnya. Pipiku mulai basah karena air
mata. Mama menangis dan begitu juga papa. Mama terus mengatakan bahwa ini tak
adil. Aku hanya terdiam menahan isakanku.
**************
**************
In the end this girl will recover and continue her life. Yes, just like you. You will get better anytime soon, Janet. Period
BalasHapusPlease be better
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus