Senin, 06 Mei 2013

Tuhan Part 1

Tuhan

Oleh: Janet Prastha C.

Kamu percaya Tuhan itu ada? Aku percaya. Meski aku tak dapat melihatNya, meski aku tak pernah merasakan sentuhan tanganNya, belaian hangatNya atau kontak fisik lainnya namun aku percaya bahwa Ia nyata. Bahkan disaat seperti ini.
 Tanganku terasa dingin dan beku. Aku tak bisa menggerakan sekujur tubuhku. Aku masih dapat mendengar sayup-sayup suara dokter yang menyuruh suster dengan alat ini atau alat itu dan aku masih bisa mendengar sayup-sayup tangisan keras mama yang tak terkontrol.
Aku juga masih dapat melihat walau samar-samar. Aku bisa melihat papa sedang memegangi mama yang menangis dan berteriak. Mama sungguh tak terkontrol, aku tahu dari caranya berusaha melepaskan diri dari pelukan papa. Papa juga menangis, sama seperti mama, hanya dia lebih dapat menguasai emosinya. Aku tahu papa juga pasti merasakan kesedihan yang sama dengan mama. Rasanya aku ingin tersenyum kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja tapi aku tidak bisa, mulutku tidak dapat bergerak.
Nafasku tersenggal-senggal. Aku dapat merasakan itu. Aku tak tahu apakah ajalku mulai datang. Yang aku tahu suara-suara disekitarku mulai memelan. Mataku juga mulai terpejam dengan sendirinya. Aku mulai merasakan damai dan hangat bercampur menjadi satu. Apakah aku sudah meninggal? Aku tak tahu.
*************
Sehari sebelumnya.
Aku terbangun dari tidurku dan melihat mama menatapku dengan mata sembabnya. Ia tersenyum tipis dan aku membalas senyumnya. Lingkaran hitam di kantung matanya semakin jelas. Rambutnya berantakan dan kurasa ia tidak akan membereskan rambutnya dengan segera. Penampilannya bahkan lebih buruk dariku yang sedang sakit ini.
"Mama, aku baik-baik saja. Mama sudah tidur?" Suaraku terdengar pelan dan yakin. Aku tahu mama tidak mempercayai hal itu melihat kondisiku yang kurasa semakin memburuk.
Mama menggangguk pelan dan tersenyum sekali lagi. Ia membelai rambutku yang hampir botak dengan lembut. Tangannya masih lembut seperti biasa, hanya semakin kurus. Ia terlalu letih dan tidak peduli dengan keadaannya lagi. Ia lebih mementingkan aku. 
 "Mama sudah tidur nyenyak sayang" ia menjawabku dengan suara parau dan serak. Aku kehilangan suara lembutnya yang dulu. Mama terlihat sangat capai. Mukanya menunjukkan seperti itu. Ia tidak dandan seperti dahulu, namun mamaku adalah wanita yang cantik, seperti apapun keadaannya, ia tetap cantik.
"Benarkah?" Aku bertanya sekali lagi. Sebenarnya aku sudah tahu bahwa mama tak tertidur tadi malam. Kalaupun ia tertidur tapi itu tidaklah lama. Hanya 15 menit atau kurang. Ia lebih sering menangis. Andai aku dapat hidup lebih lama, tentu aku sangat bahagia jika bisa menyeka tangisnya dengan senyum ceria dan tawa kebebasan. Aku ingin membahagiakan mama dengan hidupku itulah cita-citaku. Tapi aku tak tahu sampai kapan aku dapat bertahan.
"Mama sungguh-sungguh, Abel. Sebentar lagi papa pulang dari kantor dan langsung menuju kesini untuk bergantian menjaga kamu." Aku melihat ke arah jam di ruang rawat inap ku. Pukul 4 sore dan itu berarti papa sudah pulang. Aku bersyukur karena papa memiliki kedudukan sehingga "bebas" ijin kapan saja. Dan aku bersyukur memiliki papa dan mama yang begitu tegar dan kuat seperti superman. Tidak, mereka lebih dari itu. Mereka selalu berusaha terlihat biasa saja walau aku tahu hati mereka hancur melihatku seperti ini.
"Tadi Ibu Ratna datang kemari saat kau tidur. Ia bersama dengan teman-temanmu, Sarah, Tommy, Rachel , Maya dan Vincent. Mereka membawa boneka dan gambar ini." Mama membuka laci meja disebelah tempat tidurku lalu mengeluarkan kertas berukuran A4 yang digulung-gulung. Aku membukanya dan melihat gambar serta tulisan-tulisan penyemangat dari teman-temanku. Aku menitikkan air mata. Sungguh aku rindu kembali bersekolah dan bermain dengan mereka. Aku rindu pergi ke kantin bersama Rachel dan Sarah. Aku rindu perang mulut dengan Tommy dan Vincent. Aku rindu Maya yang memonyongkan mulutnya jika aku mendapat nilai lebih tinggi daripadanya. Aku rindu semua teman-temanku.
"Aku pasti sembuh ma, aku mau bermain dengan mereka." Tegasku. Mama menangis tertahan mendengar pernyataanku. Kami berdua tahu bahwa penyakit ini sudah merenggut badanku. Mr.Steve, dokterku, bilang kalau kami tinggal menghitung hari. Aku masih ingat mama pingsan saat mendengar hal itu. Papa menangis tak bersuara. Aku menutup mulutku dan berteriak histeris. Aku sempat tak percaya Tuhan saat itu. Aku kecewa, kami kecewa. Namun, kami seperti orang bodoh karena tak menerima kehendak-Nya. Bagaimanapun Dia tidak pernah salah. Jika memang Ia berkehendak seperti ini aku harus menerimanya dan percaya bahwa hal ini adalah bagian dari rencanaNya dan pasti berujung bahagia, entah apa ujungnya.
"Iya... Kamu pasti sembuh ya sayang." Air mata mama mulai mengalir deras. "Mama ke toilet dulu ya sayang." Mama mulai terisak ditoilet. Aku dapat mendengarnya karena kamarku dilengkapi dengan fasilitas toilet. Aku tersenyum tipis. aku mengambil boneka beruang cokelat berukuran sedang pemberian teman-temanku dan memainkannya.
"Tuhan, aku tak tahu apa maksudMu dengan semua ini. Tapi Tuhan, jika aku tak ada nanti, aku tak mau papa dan mama yang sudah sangat berjasa bagiku terpuruk terus-menerus. Engkau tahu mereka mencintaiku dengan sangat. Jadi tolong Tuhan, aku terima apapun rencanaMu, hanya satu yang aku minta, teruskanlah cita-citaku untuk membahagiakan mereka, apapun caraMu buatlah mereka bahagia. Berilah mereka penggantiku. Tuhan, akankah aku sembuh?" Bisikku. Aku tersenyum tipis dan air mata mulai menetes turun dari mataku ke pipiku. Aku memeluk boneka beruang itu lalu menangis tak bersuara. Tuhan tak pernah menjawab pertanyaanku yang satu itu. Sudah sebulan aku dirawat disini dan Ia menjawab doaku. Aku ingin teman-temanku datang dan Ia menjawabnya. Namun, yang satu ini, Ia tak pernah menjawabku. Aku tak meragukan kuasaNya, sungguh. Hanya aku terkadang terpuruk begitu mengingat bahwa aku hanya hidup 7 tahun didunia.
****************
"Dokter, tolong. Berapa lama lagi ia dapat bertahan?" Aku mendengar suara mama. Mama tak tahu bahwa aku sudah bangun dan aku lebih memilih berpura-pura tidur dan mendegar pembicaraan mereka. Aku tahu mama tak akan bercerita kepadaku tentang hal ini.
"Saya pun tidak tahu Mrs. Kami sudah angkat tangan, hanya Tuhan yang tahu sampai kapan gadis kecil ini akan bertahan." Aku membalikkan badanku dan masih berpura-pura tertidur. Aku mengintip sedikit,  dokter menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan.
"Separah itukah penyakitnya, Dok?" Mama mulai menahan air matanya. Jantungku berdebar cepat. Aku juga takut mendengar jawaban dokter. Tuhan, apakah ini jawabanMu atas pertanyaanku tadi? Aku bertanya dalam hati.
"Anda tahu Mrs, bahwa penyakit lupus adalah penyakit yang mematikan setara dengan kanker. Ini juga adalah sebuah mujizat ia dapat bertahan 14 hari lebih lama dari waktu yang kami perkirakan sebelumnya." Dokter tersenyum tipis. Aku menahan tangis.  Penyakit ini sungguh merenggut semuanya dariku. Rambut hitam lebat panjangku yang indah kini tinggal beberapa helai saja karena rontok yang aku alami akibat gejala penyakit ini, pipiku yang putih merona sekarang banyak bercak merah mengerikan. Kulitku yang bersih dan putih terawat menjadi hitam karena tak kuat menahan sinar matahari ,yang dulu sangat kusukai, dan tertutupi bercak-bercak merah sepertibercak-bercak merah di wajahku. Aku sangat menyeramkan. Penglihatanku juga berkurang, sungguh, aku tak tahu sampai kapan aku hidup. Penyakit ini sudah merambah ke organ dalamku. Entah kemana, mama dan papa tak mau memberitahuku.
"Saya tahu, Dok. Tapi apakah ada cara lain? Saya mohon." Aku mendengar suara mama mulai gemetar. Aku tahu ia akan menangis lagi dan semua ini karena penyakitku.
"Maaf Mrs, saya sudah mencoba semampu dan seterbaik yang saya bisa. Saya baru pernah menangani kasus seperti ini. Ini adalah yang pertama bagi saya." Mama menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia mulai terisak. Papa mengelus-elus pundak mama.
"Justru karena ini yang pertama maka Anda harus bisa menyembuhkan putri tunggal saya." Papa angkat bicara. Aku membalikkan badanku membelakangi mereka. Aku menahan nafasku. Tuhan tolong aku.
"Saya sudah berusaha, saya sudah sangat berusaha, tolong percayalah. Tapi untuk sekarang, hanya Tuhan yang tahu bagaimana kelanjutan dari semua ini. Tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin dan ini adalah perawatan termaksimal tapi penyakitnya sudah melampaui batas maksimal kami." Mr.Steve, dokterku, menunduk lalu meminta diri untuk keluar kamarku dan memeriksa pasien lainnya. Pipiku mulai basah karena air mata. Mama menangis dan begitu juga papa. Mama terus mengatakan bahwa ini tak adil. Aku hanya terdiam menahan isakanku.
                                  **************

2 komentar:

  1. In the end this girl will recover and continue her life. Yes, just like you. You will get better anytime soon, Janet. Period

    Please be better

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus