Senin, 06 Mei 2013

True Love


True Love

Arti Cinta yang Sesungguhnya
'Calista Nathania'





“Kenapa, Tuhan? Kenapa harus dia? kenapa bukan aku?” Aku meneteskan air mata sambil mengucapkan kata – kata itu dengan lirih. Hatiku terlalu sakit untuk menyaksikan apa yang aku lihat, seorang gadis yang sangat aku cintai hampir selama hidupku, seorang gadis yang selalu aku lihat, yang selalu menjadi prioritas bagiku, terbaring dengan tidak berdaya diatas brankar rumah sakit sambil memegangi dada kirinya. Sudah berkali – kali dia keluar dan masuk rumah sakit, selalu bergantung pada seluruh obat – obatan yang menurut dokter dapat menyembuhkan penyakitnya, terbatas dalam melakukan segala aktivitas fisik, dan rasa sakit di dada kirinya yang selalu menyerang akibat penyakit jantung yang dideritanya. Ini tidak hanya menyiksa dirinya, tapi juga menyiksa aku. Aku seolah juga ikut merasakan apa yang dia rasakan.
“Sakit.... sakit.” Ucap Sandara dengan lirih. Kesadarannya sudah menurun. Dia memejamkan matanya sambil terus memegang dada kirinya seolah jantungnya akan meledak. Dokter dan suster segera memberi pertolongan yang menurut mereka adalah yang terbaik.
“Anda tunggu diluar ya.” Kata Suster. Aku mengangguk dan segera keluar. Aku menungguinya di ruang tunggu UGD. Aku bisa melihatnya dari pintu UGD yang terbuat dari kaca bening, serta dari sela – sela gorden yang terbuka. Betapa sakit yang dia rasakan, aku bisa lihat dari ekspresi wajahnya dan ini terus menyiksa batinku. Aku memijat pelan kepalaku yang terasa berdenyut. Penyakit jantung itu sudah di derita Sandara sejak kecil. Orang tuanya terus berjuang menyelamatkan anak mereka dengan terus mencari donor jantung yang tepat, tapi sampai saat ini tidak satu pun ada donor, sementara kesehatan Sandara semakin menurun. Sandara adalah pacar pertamaku, yang aku kenal sejak usiaku masih lima tahun. Sampai saat ini entah mengapa hanya tetap ada dia, aku merasa tidak tertarik pada gadis mana pun selain dia. Tapi, kenapa? Tuhan, kau tau bahwa aku bukan seorang pemain cinta. Aku bukan orang yang dengan mudah jatuh cinta dan menjerat banyak wanita, sampai saat ini, saat usiaku tujuh belas tahun, aku masih tetap dan masih akan mencintai Sandara, kenapa harus satu – satunya gadis yang aku cintai yang harus menanggung penderitaan macam ini? Setiap hari aku selalu menghubunginya, selalu meluangkan waktu untuknya, selalu berdoa padaMu agar jangan kau ambil dia, Tuhan, aku tidak dapat hidup tenang setiap harinya karena aku takut jantungnya berhenti berdetak. Air mataku sudah tak kuat aku bendung lagi. Aku menangis dan terisak pelan. Aku tidak peduli dengan orang – orang disekitarku yang memandangku aneh ataupun prihatin. Sandara terkena serangan jantung lagi saat dia sedang jalan – jalan bersamaku, secepat kilat aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku takut, sangat takut kehilangan dirinya.
“Revan, gimana sama Sandara?” Seorang wanita setengah baya berdiri disisi seorang pria setengah baya yang terus menerus merangkulnya, wajah mereka sangat lelah dan sedih, mereka adalah Papa dan Mama Sandara.
“Lagi diperiksa dokter, Tante. Revan gak tau kenapa bisa serangan itu datang tiba – tiba. Yang jelas Sandara langsung berhenti jalan dan memegang dadanya sambil bilang sakit. Revan panik dan langsung bawa Sandara kesini.” Jelasku mengenai peristiwa tadi. Mama Sandara terisak pelan. Ia membenamkan wajahnya ke dada suaminya.
“Mama takut kehilangan Sandara, Papa.... gimana ini? Gimana caranya kita bisa menyelamatkan dia. Mama bisa mati kalau gak ada Sandara, Papa.” Isak Mama Sandara. Melihat hal seperti ini, aku jadi merasa hidup itu tidak adil. Sandara adalah anak satu – satunya dari Papa – Mamanya, Tuhan, jika kau mengambilnya kau akan mengahancurkan hati kedua orang tuanya. Juga, aku pun akan hancur. Aku sangat mencintainya, jika aku sampai harus kehilangannya, entah bagaimana jalan hidupku kedepannya.
“Kita berdoa aja ya, Ma. Supaya Sandara bisa bertahan.” Ujar Papanya sambil mengusap punggung istrinya. Kami semua berharap yang terbaik untuk Sandara. Aku sangat percaya bahwa mukjizat itu nyata, tapi kenapa Tuhan? Kenapa belum kau tunjukkan barang secuil saja mukjizat itu... Aku sangat frustasi, Tuhan. Aku sangat takut. Aku sama sekali tidak ingin dan tidak siap untuk melepas gadis itu, Sandaraku.
“Kalau saja...kalau saja, jantung Mama ini cocok... pasti Mama sudah mendonorkannya buat Sandara. Gak apa – apa Mama mati, asal Sandara bisa sehat dan bahagia...”
“Tante, jangan ngomong gitu...kalau tante kayak gitu kasian Om.” Kataku. Ya, semua orang disini frustasi dan sangat takut. Semua yang mencintai Sandara rela berkorban untuknya, tapi ternyata...semua jalan buntu. Mama Sandara yang mati – matian ingin menyelamatkan anaknya, Jantungnya sama sekali tidak cocok dengan Sandara. Papanya mengidap penyakit darah tinggi, sehingga sama sekali tidak diizinkan melakukan operasi. Aku? aku sangat ingin menyelamatkan Sandara kalau aku bisa, tapi orang tuaku mati – matian melarangku. Lantas, bagaimana jalannya, Tuhan? Bagaimana jalan untuk menyelamatkan Sandaraku. Kami semua langsung menghampiri dokter begitu ia keluar dari ruang UGD.
“Pasien sudah dapat diselamatkan, jantungnya kembali berdetak dengan normal, tapi jika serangan mendadak itu datang lagi, belum tentu kami masih bisa menyelamatkannya. Untuk sementara dia akan dirawat intensif disini.” Jelas dokter.
“Lakukan apa saja untuk menyelamatkan anak saya, dokter.” Kata Papa Sandara. Untuk sedetik ini aku masih bisa menarik nafas lega, melihat bahwa Sandara masih bernafas dan aku masih punya waktu untuk bersamanya.
***
Setelah keadaannya membaik Sandara langsung dipindah keruang rawat biasa. Ia masih belum sadarkan diri. Aku duduk dibangku yang tersedia disamping brankarnya. Aku genggam erat tangannya yang tidak diinfus.
“San, aku sayang sekali sama kamu. Aku mencintai kamu. Aku sama sekali gak ingin ngeliat kamu begini terus. Aku ingin kamu sembuh.” Ucapku sambil membelai lembut rambutnya. Perlahan – lahan Sandara membuka matanya. Ia tersenyum ke arahku.
“Re...van...” Ucapnya selirih angin.
“Iya, Sayang?”
“Aku... mencintai... kamu... aku...”
“Ssssttt... Jangan bilang itu. Kamu masih terlalu lemah untuk bicara kamu mencintai aku.” Kataku sambil meletakkan telunjukku dibibirnya yang pucat.
“Sayang, aku mau kamu sembuh.... aku mau kamu ngelawan penyakit kamu. Mimpi dan cita – cita kita masih panjang, kamu mau kan gapai mimpi itu sama aku?” Tanyaku. Sandara hanya mengangguk lemah sambil meneteskan air matanya. Aku segera menyeka air matanya.
“Jangan menangis. Kamu harus kuat.” Kataku lagi, padahal aku sangat lemah, air mataku memang aku tahan, aku tak ingin Sandara tau aku menangis. Namun, masalah batin lain lagi. Batinku menangis terus menerus.
***
Aku menemani Sandara seharian ini. Menghiburnya, mengobrol, menguatkannya, semua yang aku rasa bisa aku lakukan akan aku lakukan untuknya. Aku berjalan di lorong rumah sakit. Langit sudah berwarna kemerahan, tanda hari sudah senja. Saat itu seseorang berjalan dengan cepatnya dan tanpa bisa dihindarkan lagi, dia menabrakku. Plastik putih yang dibawanya jatuh dan isinya berantakkan.
“Maaf.” Ucapnya pelan sambil membenahi semua obatnya yang berantakkan. Aku memandang orang itu yang ternyata seorang gadis. Gadis itu memakai pakaian rumah sakit. Wajahnya juga sangat pucat. Aku segera membantunya mengambil obat – obatnya. Tanpa membaca namanya, sekilas mataku menangkap tulisan yang berada dibaris paling bawah plastik. Gadis ini sakit ginjal? Ujarku dalam hati sambil membaca tulisan ini.
“Maaf...” Dia menarik plastik obat itu dari tanganku.
“Maafin gue juga gara – gara gue jalan ga liat – liat.” Ujarku tulus. Gadis itu mengangguk pelan. Wajah gadis ini sebenarnya manis, tapi sangat pucat, rambutnya pun tipis, serta tubuhnya sangat ringkih. Apakah dia juga mengidap penyakit yang parah? Tanyaku dalam hati.
“Iya...Permisi.” Gadis itu berbalik dan berjalan menjauhiku, namun beberapa detik kemudian, saat aku masih memandang punggunya. Gadis itu tampak linglung, lalu jatuh menghempas lantai. Aku segera berlari kearahnya dan menggotongnya mencari suster. Jalan yang aku lalui ini sangat sepi.
***
“Dia ini pasien dirumah sakit yang sudah dirawat selama sebulan ini, Mas. Orangnya hiperaktif, gak mau diem dan istirahat, suster – suster udah coba kasih tau berkali – kali, tapi tetep aja bandel. Infusnya dicabut dan dia pergi.” Jelas seorang suster padaku perihal gadis tadi.
“Dia sakit ginjal ya?” tanyaku.
“Iya, sakit ginjal... ginjalnya sudah tinggal satu, dan ternyata satu ginjalnya ini juga rusak.” Seketika itu juga perasaan prihatin menyergapku.
“Suster berarti harus lebih protektif lagi jagain dia, jangan sampai keadaan kayak gini berulang lagi. Saya permisi dulu ya.” Ujarku sambil meninggalkan kamar rawat gadis itu.
***
Keesokan harinya, sepulangnya aku dari sekolah. Aku segera menuju rumah sakit. Aku ingin menemani dan menghibur Sandara, bukankah saat kau berada dalam posisi yang lemah dan menderita, kau selalu berharap orang yang kau cintai akan ada untukmu, disisimu? Maka itu aku akan selalu menemani Sandara. Aku berjalan di koridor rumah sakit sambil membawa 5 tangkai bunga lily kesukaan Sandara yang sudah dirangkai menjadi sangat bagus. Tiba – tiba mataku kembali terpaku pada seorang gadis. Gadis yang aku lihat kemarin. Gadis itu tengah duduk disamping seorang anak kecil yang botak dalam balutan piyama rumah sakit, tertawa, berbicara entah apa, lalu berdiri dan menggerak – gerakkan badannya, anak kecil botak itu kemudian tertawa. Mereka tertawa bersama seolah sangat bahagia. Gadis itu... gadis dengan satu ginjal yang sudah rusak, tapi mengapa masih sangat nakal? Melepas infusnya dan pergi bermain keluar kamar. Pandangan mataku dan dia bertemu. Dia memandangku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum. Dia lalu membisikkan kata – kata pada anak kecil botak itu, anak kecil botak itu kemudian mengangguk, dan dia berjalan menghampiriku.
“Hai...” Ucapnya sambil tersenyum. Aku membalas  senyumnya.
“Hai.”
“Kamu yang nolongin aku kemarin? Makasih ya, maaf aku udah ngerepotin kamu.” Katanya dengan tulus.
“Lo itu sakit, harusnya lo istirahat dikamar biar cepet sembuh.” Kataku. Dia tersenyum.
“Istirahat aja gak akan bikin aku sembuh. Lebih baik sebelum aku meninggal, aku menikmati hidup ini. Kenalan sama banyak orang yang Tuhan ciptakan, menghirup udara luar sebanyak – banyaknya, serta melihat banyak hal yang mungkin nanti gak akan bisa aku liat.”
“Lo ini siapa sih?” Aku menaikkan alisku. Heran dengan perilaku gadis seperti ini.
“Namaku Happy...panggil aja aku Happy... kamu disini jenguk siapa? Bunganya bagus.” Katanya sambil tersenyum. Gadis ini selalu tersenyum. Senyumnya hanya senyum biasa, namun keceriaan dan ketulusannya, membuat senyum terlihat sangat manis.
“Oh, gue Revan. Iya gue disini mau jengukkin pacar gue. Pacar gue suka bunga ini, eh gue permisi dulu ya, mau nemenin pacar gue.” Kataku sambil berlalu. Gadis itu lalu kembali bermain bersama anak kecil botak tadi. Nama yang disebutkannya terus berputar dalam benakku.. happy...happy...happy... nama yang sangat sesuai dengan pribadinya yang terlihat
***
“Sandara?” Aku masuk kedalam kamar rawat Sandara dan aku langsung melihat gadis yang aku cintai itu sedang duduk sambil menitikkan air matanya. Disampinya, ada Mamanya yang menggenggam tangannya sambil membelai rambutnya.
“Hai, Tante... Sayang, liat aku bawain bunga lily buat kamu. Aku taruh disini ya.” Kataku sambil meletakkan bunga lily itu disamping brankarnya.
“Tante, keluar dulu... Sandara bilang ingin bicara berdua sama kamu, Revan.” Kata Mama Sandara seraya keluar dari kamar. Setelah Mamanya keluar. Sandara menatapku dengan mata yang berkaca – kaca. Perasaanku langsung terenyuh saat melihat air matanya. Kepanikan langsung melanda diriku seketika itu juga.
“Kamu kenapa, Sayang?” Aku langsung menyeka air matanya, tapi dia menghindar.
“Revan... aku ingin bicara.. kamu duduk aja...” Katanya sambil menyeka air matanya sendiri. Aku langsung duduk dikursi. Berdebar – debar menanti apa yang akan ia katakan, sepertinya ini bukan tentang hal baik.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Kamu tau apa yang paling aku inginkan? Aku punya sesuatu yang sangat aku inginkan dan aku berharap kamu akan mampu memenuhinya.” Katanya dengan tenang, tanpa menatapku sama sekali. Aku menyentuh tangannya dan secepat itu pula dia menarik tangannya dari tanganku. Ada apa dengan Sandara?
“Ada apa sih? Kamu lagi kenapa?”
“Aku mau hubungan kita sampai disini! Aku mau kamu pergi dari hidupku. Biar aku konsen sama penyakitku dan kamu bisa raih mimpi kamu. Mimpi kamu adalah menjadi seorang pelukis kan... karena kamu terlalu sibuk mengurus aku, kamu mengabaikan mimpi kamu. aku ga mau menjadi seorang yang egois, jadi aku minta.... kamu pergi.” Kata – katanya bagai palu besar yang menghantam kepalaku lalu menghimpit dadaku.
“Kenapa? Kenapa kamu tiba – tiba memintaku pergi... kamu tau bahwa aku mencintaimu. Kamu juga tau kalau aku gak bisa tanpa kamu, Sandara.” Ujarku frustasi. Aku sama sekali tidak bisa jauh dari Sandara.
“Karena aku akan mati, aku akan meninggalkanmu... aku tak ingin kamu lebih banyak membuang waktu untuk gadis lemah sepertiku. Pergi Revan...!” Sandara mulai mengatakannya dengan emosi. Mama Sandara segera masuk kedalam kamar dan menarikku keluar.
“Tante, minta maaf Revan, hanya saja sejak tadi pagi, Sandara gak ingin bertemu kamu... dia gak mau menyusahkan kamu, dia gak mau kamu terus – terus menjaga dia...kamu punya hidup kamu sendiri... biarin Sandara sendiri dulu ya, Revan... Tante gak mau dia sampi stress dan emosi gara – gara ini. Tante gak mau keadaannya semakin memburuk.” Kata Mama Sandara. Aku benar – benar berada dalam posisi yang sulit. Aku sama sekali gak ingin hubunganku berakhir seperti ini, namun memaksa Sandara adalah hal yang buruk, membuatnya emosi, stress, dan histeris akan sangat berbahaya bagi kondisinya.
“Revan mengerti...” Akhirnya itulah kata yang terucap dari mulutku. Aku pamit pulang dengan keadaan yang sangat kacau. Di lorong rumah sakit saat aku berjalan pulang aku ternyata kembali bertemu dengan Happy dan gadis itu masih dengan senyum yang sama, menyapaku lagi.
“Hai.”
“Hai juga.” Kataku dengan lesu.
“Kamu terlihat sangat tidak bersemangat. Ada apa?” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Tidak ada apa – apa.”
“Hidup terlalu singkat untuk tidak kamu nikmati.”
“Gue sangat mencintai pacar gue, gue ingin dia sembuh dari penyakit jantungnya, gue ingin dia segera mendapat donor, karena gue sama sekali gak bisa hidup tanpa dia.”
“Benarkah? Kamu gak bisa hidup tanpa dia?” Pandangan Happy terlihat aneh. Tapi, pandangan sendu mata itu, aku merasa pernah melihatnya.
“Iya... andai ada cara, gue pasti lakuin...Cuma buat nyelamatin Sandara. Gue permisi pulang dulu ya.. cepet sembuh..” Kataku sambil menepuk pundak Happy.
***
Berhari – hari berlalu dan aku terus mencoba datang kerumah sakit menemui Sandara, walau ternyata aku ditolak dan diusir olehnya. Kesabaranku mulai habis dan mencapai titik jenuh. Aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Sandara, menyuruhku menjauh darinya hanya akan membuat kita berdua tersiksa dan menderita. Aku duduk diruang tunggu rumah sakit, Sandara masih menolak menemuiku dan aku tidak ingin memaksanya. Saat itu Happy kembali datang. Keadaannya terlihat lebih buruk dari saat terakhir aku melihatnya.
“Lo  baik – baik aja?” Tanyaku saat Happy berdiri dihadapanku. Gadis itu hanya mengangguk pelan, lalu tersenyum seolah semua baik – baik saja.
“Iya... kamu yang terlihat tidak baik – baik saja.” Ujarnya. Aku mengangguk lesu.
“Memang... gue memang gak baik – baik aja. Ini udah hari ke lima dan Sandara masih gak mau menemui gue. Gue pingin disisinya, tapi dia gak mau gue disisi dia.”
“Apa sih yang sebenernya kamu liat dari pacar kamu?” Tanya Happy sambil duduk disebelahku.
“Tidak tau.. gue hanya mencintainya, gue hanya merasa kalau gue sangat mencintainya dan gak mau kehilangan dirinya. Memang bukan alasan yang jelas, tapi cinta pun bukan sesuatu yang dapat dijelaskan secara ilmiah kan, setiap orang punya cinta dan mereka akan mencintai dengan caranya sendiri.”
“Sandara itu sangat beruntung punya pacar seperti kamu. Seseorang yang bisa mencintai dia dan mengerti dia sampai seperti itu.”
“Hmm...Happy, boleh gue tanya sesuatu gak sama lo?” Ujarku akhirnya. Aku merasa sangat ganjil dengan gadis ini.
“Apa?” Tanyanya dengan santai.
“Lo disini cuma sendirian? Soalnya gue...maaf... ga pernah liat orang tua lo, dan lo bisa segini bebasnya jalan – jalan di lorong rumah sakit, kenapa?”
“Hahaha... kirain mau tanya apa... suatu saat juga kamu bakal tau jawabannya.. sebelum waktunya kamu buat tau, aku gak akan kasih tau kamu.” Dia mencibir dan aku semakin merasa aneh dengan gadis ini.
***
 “Revan, Mama mau bicara.” Mamaku menepuk bangku disebelahnya saat aku masuk kedalam rumah dan menemukan Mama sedang duduk disofa ruang keluarga. Aku mengangguk dan segera beranjak duduk disebelah Mama. Mama memandangku dengan tatapan prihatin, kesal, dan tatapan yang aku tak mengerti apa maknanya.
“Kenapa, Ma?” Tanyaku.
“Mama merasa kamu sangat menderita Revan. Ada beban yang sedang kamu pikul. Mama gak mau melihat kekacauan kamu terus berlanjut. Ulangan hancur, sekolah berantakan, melukis yang merupakan bakat dan minat kamu pun tidak kamu teruskan lagi. Dengar Revan, Mama mengerti apa yang sedang kamu hadapi. Kamu mencintai Sandara, kalian pacaran, dan sekarang pacarmu itu sedang sakit keras, tapi bukan berarti semua itu adalah alasan untuk menjadi seperti ini.  Mama kecewa dengan kamu.” Kata Mama panjang lebar. Mama terlihat sangat sebal dan marah padaku.
“Ma...Revan... Revan minta maaf ya.. tapi, Revan juga gak mengerti kenapa jadi seperti ini.”
“Mama gak mau melihat kamu datang kerumah sakit lagi, sebelum semua nilai kamu yang hancur kamu perbaikki. Mulai besok kamu diantar jempur supir. Langsung pulang dan tidak ada acara kerumah sakit. Mama tidak bisa dibantah!” Aku memang sudah tidak boleh menemui Sandara lagi, tapi aku masih ingin terus datang, walau hanya dapat melihatnya dari jendela kaca yang ada di pintu, sekarang Mama melarangku. Kenapa jadi sesulit dan serumit ini? Aku takut kehilangan Sandara, Mama... makanya aku ingin menghabiskan waktu bersamanya terus... tapi kenapa semua jadi melarangku... cinta saja memang tidak cukup untuk membuat segalanya terlihat baik – baik saja.
“Ma, apa gak bisa...”
“Gak ada toleransi... perbaikki nilai kamu dulu.” Mama memotong pembicaraanku. Sekaran aku hanya bisa berlalu kekamar dengan kekacauan yang bertambah.
***
Aku sudah menahan segala perasaan rinduku selama tiga hari ini. Aku sama sekali tidak kerumah sakit, tapi aku belajar serius untuk memperbaikki nilaiku yang jelek karena masalah yang terjadi, tapi hati dan pikiranku masih tetap tidak tenang. Akhirnya, hari ini aku terpaksa kabur dari sekolah dan menuju rumah sakit. Aku berjalan dikoridor rumah sakit sambil menggendong tas punggungku. Saat itu seorang suster berjalan menghampiriku.
“Mas, ada titipan...” Suster itu menyodorkan sepucuk surat kearahku. Aku sempat kebingungan mengapa aku bisa mendapat surat itu, tapi kemudian suster itu berkata...
“Itu dari Mbak Sas...eh, Happy, Mas...”
“Makasih.” Kataku. Aku mencari – cari gadis ajaib itu disekitar rumah sakit sebelum bertemu Sandara, tapi ternyata aku tidak bertemu dengannya lagi semudah saat aku tidak sengaja bertemu dengannya. Semua tentang gadis itu – Happy – seperti kepingan puzzle yang tidak sempurna dan aku ingin sekali mencari pelengkapnya. Aku ingin menyempurnakan kisah gadis itu agar aku mengerti tentang dirinya yang aneh itu. Aku mengantongi surat itu, belum berniat untuk membacanya. Aku masuk kedalam kamar rawat Sandara. Anehnya, setelah lebih dari seminggu tidak bertemu, sekarang dia menyambutku dengan senyuman.
“Sayang, kamu dateng lagi? Maafin aku.” Sandara langsung menangis. Aku mendekatinya dan langsung memeluknya, betapa aku sangat merindukannya.
“Aku akan terus datang untuk kamu.... tapi, 3 hari kemarin gak bisa... sekarang aku datang lagi karena gak bisa gak ketemu kamu... sebenarnya kamu ini kenapa sih, San? Kamu kan tau aku sayang sekali sama kamu.” Aku membelai lembut rambutnya. Beban yang hampir seminggu lebih aku tanggung seolah terangkat sudah begitu Sandara kembali.
“Aku cuma gak mau merepotkan kamu terus... aku kira, aku akan kehilangan kamu, tapi ternyata aku salah... Tuhan sudah membuka jalan untuk kita... aku dapet donor jantung dan itu artinya aku bisa sembuh, Sayang.” Kata Sandara. Aku langsung memeluknya lagi, itu adalah berita yang paling menggembirakan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Sandara bisa mendapat donor yang cocok... Tuhan, aku tau rencanaMu akan indah pada waktunya...terimakasih Tuhan...terimakasih...
“Hari ini... jam tujuh malam... aku akan operasi pencangkokan jantung.”
***
Revan Adithya... seorang murid SMA Harapan yang tampan dan karismatik... cowok yang banyak digilai gadis – gadis, tapi tidak satupun dari mereka dapat merebutmu dari Sandara Aprilia Winata... aku adalah seseorang yang telah menyita banyak waktuku hanya untuk melihat tentang dirimu. Sejak pertama kali melihat...aku mencintaimu, tapi ternyata... aku memang tidak ditakdirkan untuk bersama denganmu...penyakit ginjal ini datang dan aku terpaksa harus pergi keluar negeri untuk berobat. Aku terpaksa mengubur semua kenangan tentang dirimu dan melupakanmu untuk bertahun – tahun... tapi, ternyata Tuhan punya rencana.. saat aku kembali dan sebulan sudah menjalani perawatan di Rumah Sakit Pelita... aku kembali dipertemukan denganmu. Saat pertama kali melihat, aku sudah tau bahwa kamu adalah orang yang aku kagumi bahkan masih aku cintai... dan disini aku banyak melihat sisi lain dari dirimu... kamu adalah seorang yang benar – benar mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya. Aku terus memperhatikanmu diam – diam selama dirumah sakit. Suster yang merawatku, membantuku untuk ‘melihat’ dirimu... saat kamu bertanya tentang siapa namaku, aku bilang namaku Happy, padahal bukan... Namaku yang sebenarnya adalah Sashalicia Pratama, aku adalah anak dari dokter Andri Pratama... aku memang bukan anak yang baik, aku ini anak nakal... aku tidak suka mengakui bahwa aku sakit, makanya aku mencabut infusku berulang – ulang dan kabur bermain.. tindakanku memang salah, Papa dan suster selalu marah padaku, tapi aku tidak perduli. Aku hanya ingin melakukan hal yang aku sukai... aku ingin bergaul dengan orang dirumah sakit ini, bukan hanya diam dan berbaring diatas brankar menunggu waktu tiba. Aku sangat sedih saat tau dan melihat betapa kacaunya kamu saat Sandara menolak bertemu denganmu. Aku sangat tau apa yang kamu ingingkan didunia ini, yaitu kesembuhan Sandara...Aku mencintaimu Revan... aku ini adalah orang yang mencintaimu tanpa pernah kamu lihat... tapi, kamu bilang bahwa “...cinta pun bukan sesuatu yang dapat dijelaskan secara ilmiah kan, setiap orang punya cinta dan mereka akan mencintai dengan caranya sendiri.” Maka, itu aku ingin mencintaimu dengan caraku sendiri, membahagiakanmu dengan hal – hal yang memang bisa aku lakukan... aku sudah lelah dengan hidupku... setiap hari aku berharap bahwa ‘saat itu’ tiba. Saat dimana kau bisa melepaskan segalanya. Aku lelah harus menjalani cuci darah setiap hari... aku lelah menahan rasa sakit yang muncul... maka, aku memohon pada Papaku... memohon dengan sangat supaya aku diizinkan mendonorkan jantungku untuk Sandara...agar setidaknya aku bisa berguna untuk orang lain... atau aku bisa menjadi bagian dari orang yang kamu cintai... setidaknya aku juga turut merasakan cinta darimu yang begitu tulus dan sempurna... Tuhan sangat mengizinkan rencanaku ini... saat di tes...Jantungku cocok dengan Sandara...aku tau Tuhan merestuiku... maka, aku dengan sangat rela mendonorkannya untuk Sandara... selamat tinggal ya, Revan...aku sangat mencintaimu.. aku adik kelasmu di SMA yang selalu melihatmu, tapi tidak pernah kamu lihat...diakhir hidupku aku mendapat kesempatan untuk bisa berbicara denganmu... aku sangat bahagia... semoga kamu juga bahagia... aku tulus melakukan ini untuk kamu... kamu jaga baik – baik jantungku yang menjadi penyambung hidup Sandara ya...
With Love
Happy

Surat itu sudah aku terima dari beberapa bulan yang lalu, tapi aku terus membacanya. Aku sangat terharu... ada orang yang begitu mencintaiku sampai rela mengorbankan nyawanya untuk membahagiakan aku. Segalanya sudah menjadi lebih baik sekarang. Berkat Jantung Happy, Sandara bisa bertahan dan sembuh... aku masih sangat menyayangkan kenapa harus Happy yang melakukan...jika, ada kesempatan tentu aku ingin membina hubungan baik dengannya, tapi dia pergi...menghilang... hanya meninggalkan sepucuk surat yang menjelaskan semuanya. Kali pertama aku membaca surat itu, aku langsung kerumah sakit lagi, mencari dimana Happy berada, tapi aku sama sekali tidak menemukannya, bahkan saat operasi pun... aku tidak mengerti kenapa aku tidak bisa bertemu atau melihatnya sebentar saja...dia sama sekali tidak ada... dokter yang bernama Andri Pratama, juga tidak bisa aku temui... ini seperti sebuah misteri...
“Sayang, kamu melukis apa sih kok sambil bengong gitu?” Sandara menghampiri aku yang sedang melukis ditaman belakang. Aku segera melipat surat dari Happy dan memasukkannya dalam saku bajuku.
“Siapa dia?” Tanya Sandara... ia memandang heran lukisanku. Seorang gadis dengan senyum yang sangat manis.
“Ini Happy... inilah wajah orang yang udah mendonorkan jantungnya buat kamu.” jelasku.
“Kok kamu bisa tau?”
“Aku tau aja... pokoknya jantung yang sekarang berdetak didalam tubuh kamu adalah jantungnya dia.” Kataku lagi. Sandara tersenyum manis... sekarang dia terlihat berbeda...senyumnya..cara senyum Sandara sekarang adalah seperti cara Happy tersenyum.
*END*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar