True Love
Arti Cinta yang Sesungguhnya
'Calista Nathania'
'Calista Nathania'
“Kenapa,
Tuhan? Kenapa harus dia? kenapa bukan aku?” Aku meneteskan air mata sambil
mengucapkan kata – kata itu dengan lirih. Hatiku terlalu sakit untuk
menyaksikan apa yang aku lihat, seorang gadis yang sangat aku cintai hampir
selama hidupku, seorang gadis yang selalu aku lihat, yang selalu menjadi
prioritas bagiku, terbaring dengan tidak berdaya diatas brankar rumah sakit
sambil memegangi dada kirinya. Sudah berkali – kali dia keluar dan masuk rumah
sakit, selalu bergantung pada seluruh obat – obatan yang menurut dokter dapat
menyembuhkan penyakitnya, terbatas dalam melakukan segala aktivitas fisik, dan
rasa sakit di dada kirinya yang selalu menyerang akibat penyakit jantung yang
dideritanya. Ini tidak hanya menyiksa dirinya, tapi juga menyiksa aku. Aku
seolah juga ikut merasakan apa yang dia rasakan.
“Sakit....
sakit.” Ucap Sandara dengan lirih. Kesadarannya sudah menurun. Dia memejamkan
matanya sambil terus memegang dada kirinya seolah jantungnya akan meledak.
Dokter dan suster segera memberi pertolongan yang menurut mereka adalah yang
terbaik.
“Anda
tunggu diluar ya.” Kata Suster. Aku mengangguk dan segera keluar. Aku
menungguinya di ruang tunggu UGD. Aku bisa melihatnya dari pintu UGD yang terbuat
dari kaca bening, serta dari sela – sela gorden yang terbuka. Betapa sakit yang
dia rasakan, aku bisa lihat dari ekspresi wajahnya dan ini terus menyiksa
batinku. Aku memijat pelan kepalaku yang terasa berdenyut. Penyakit jantung itu
sudah di derita Sandara sejak kecil. Orang tuanya terus berjuang menyelamatkan
anak mereka dengan terus mencari donor jantung yang tepat, tapi sampai saat ini
tidak satu pun ada donor, sementara kesehatan Sandara semakin menurun. Sandara
adalah pacar pertamaku, yang aku kenal sejak usiaku masih lima tahun. Sampai
saat ini entah mengapa hanya tetap ada dia, aku merasa tidak tertarik pada
gadis mana pun selain dia. Tapi, kenapa? Tuhan, kau tau bahwa aku bukan seorang
pemain cinta. Aku bukan orang yang dengan mudah jatuh cinta dan menjerat banyak
wanita, sampai saat ini, saat usiaku tujuh belas tahun, aku masih tetap dan
masih akan mencintai Sandara, kenapa harus satu – satunya gadis yang aku cintai
yang harus menanggung penderitaan macam ini? Setiap hari aku selalu menghubunginya,
selalu meluangkan waktu untuknya, selalu berdoa padaMu agar jangan kau ambil
dia, Tuhan, aku tidak dapat hidup tenang setiap harinya karena aku takut
jantungnya berhenti berdetak. Air mataku sudah tak kuat aku bendung lagi. Aku
menangis dan terisak pelan. Aku tidak peduli dengan orang – orang disekitarku
yang memandangku aneh ataupun prihatin. Sandara terkena serangan jantung lagi
saat dia sedang jalan – jalan bersamaku, secepat kilat aku membawanya ke rumah
sakit terdekat. Aku takut, sangat takut kehilangan dirinya.
“Revan,
gimana sama Sandara?” Seorang wanita setengah baya berdiri disisi seorang pria
setengah baya yang terus menerus merangkulnya, wajah mereka sangat lelah dan
sedih, mereka adalah Papa dan Mama Sandara.
“Lagi
diperiksa dokter, Tante. Revan gak tau kenapa bisa serangan itu datang tiba –
tiba. Yang jelas Sandara langsung berhenti jalan dan memegang dadanya sambil
bilang sakit. Revan panik dan langsung bawa Sandara kesini.” Jelasku mengenai
peristiwa tadi. Mama Sandara terisak pelan. Ia membenamkan wajahnya ke dada
suaminya.
“Mama
takut kehilangan Sandara, Papa.... gimana ini? Gimana caranya kita bisa
menyelamatkan dia. Mama bisa mati kalau gak ada Sandara, Papa.” Isak Mama
Sandara. Melihat hal seperti ini, aku jadi merasa hidup itu tidak adil. Sandara
adalah anak satu – satunya dari Papa – Mamanya, Tuhan, jika kau mengambilnya
kau akan mengahancurkan hati kedua orang tuanya. Juga, aku pun akan hancur. Aku
sangat mencintainya, jika aku sampai harus kehilangannya, entah bagaimana jalan
hidupku kedepannya.
“Kita
berdoa aja ya, Ma. Supaya Sandara bisa bertahan.” Ujar Papanya sambil mengusap
punggung istrinya. Kami semua berharap yang terbaik untuk Sandara. Aku sangat
percaya bahwa mukjizat itu nyata, tapi kenapa Tuhan? Kenapa belum kau tunjukkan
barang secuil saja mukjizat itu... Aku sangat frustasi, Tuhan. Aku sangat
takut. Aku sama sekali tidak ingin dan tidak siap untuk melepas gadis itu,
Sandaraku.
“Kalau
saja...kalau saja, jantung Mama ini cocok... pasti Mama sudah mendonorkannya
buat Sandara. Gak apa – apa Mama mati, asal Sandara bisa sehat dan bahagia...”
“Tante,
jangan ngomong gitu...kalau tante kayak gitu kasian Om.” Kataku. Ya, semua
orang disini frustasi dan sangat takut. Semua yang mencintai Sandara rela
berkorban untuknya, tapi ternyata...semua jalan buntu. Mama Sandara yang mati –
matian ingin menyelamatkan anaknya, Jantungnya sama sekali tidak cocok dengan
Sandara. Papanya mengidap penyakit darah tinggi, sehingga sama sekali tidak
diizinkan melakukan operasi. Aku? aku sangat ingin menyelamatkan Sandara kalau
aku bisa, tapi orang tuaku mati – matian melarangku. Lantas, bagaimana
jalannya, Tuhan? Bagaimana jalan untuk menyelamatkan Sandaraku. Kami semua
langsung menghampiri dokter begitu ia keluar dari ruang UGD.
“Pasien
sudah dapat diselamatkan, jantungnya kembali berdetak dengan normal, tapi jika
serangan mendadak itu datang lagi, belum tentu kami masih bisa
menyelamatkannya. Untuk sementara dia akan dirawat intensif disini.” Jelas
dokter.
“Lakukan
apa saja untuk menyelamatkan anak saya, dokter.” Kata Papa Sandara. Untuk
sedetik ini aku masih bisa menarik nafas lega, melihat bahwa Sandara masih bernafas
dan aku masih punya waktu untuk bersamanya.
***
Setelah
keadaannya membaik Sandara langsung dipindah keruang rawat biasa. Ia masih belum
sadarkan diri. Aku duduk dibangku yang tersedia disamping brankarnya. Aku
genggam erat tangannya yang tidak diinfus.
“San,
aku sayang sekali sama kamu. Aku mencintai kamu. Aku sama sekali gak ingin
ngeliat kamu begini terus. Aku ingin kamu sembuh.” Ucapku sambil membelai
lembut rambutnya. Perlahan – lahan Sandara membuka matanya. Ia tersenyum ke
arahku.
“Re...van...”
Ucapnya selirih angin.
“Iya,
Sayang?”
“Aku...
mencintai... kamu... aku...”
“Ssssttt...
Jangan bilang itu. Kamu masih terlalu lemah untuk bicara kamu mencintai aku.”
Kataku sambil meletakkan telunjukku dibibirnya yang pucat.
“Sayang,
aku mau kamu sembuh.... aku mau kamu ngelawan penyakit kamu. Mimpi dan cita –
cita kita masih panjang, kamu mau kan gapai mimpi itu sama aku?” Tanyaku. Sandara
hanya mengangguk lemah sambil meneteskan air matanya. Aku segera menyeka air
matanya.
“Jangan
menangis. Kamu harus kuat.” Kataku lagi, padahal aku sangat lemah, air mataku
memang aku tahan, aku tak ingin Sandara tau aku menangis. Namun, masalah batin
lain lagi. Batinku menangis terus menerus.
***
Aku
menemani Sandara seharian ini. Menghiburnya, mengobrol, menguatkannya, semua
yang aku rasa bisa aku lakukan akan aku lakukan untuknya. Aku berjalan di
lorong rumah sakit. Langit sudah berwarna kemerahan, tanda hari sudah senja.
Saat itu seseorang berjalan dengan cepatnya dan tanpa bisa dihindarkan lagi,
dia menabrakku. Plastik putih yang dibawanya jatuh dan isinya berantakkan.
“Maaf.”
Ucapnya pelan sambil membenahi semua obatnya yang berantakkan. Aku memandang
orang itu yang ternyata seorang gadis. Gadis itu memakai pakaian rumah sakit.
Wajahnya juga sangat pucat. Aku segera membantunya mengambil obat – obatnya.
Tanpa membaca namanya, sekilas mataku menangkap tulisan yang berada dibaris
paling bawah plastik. Gadis ini sakit ginjal? Ujarku dalam hati sambil membaca
tulisan ini.
“Maaf...” Dia menarik plastik obat itu dari tanganku.
“Maaf...” Dia menarik plastik obat itu dari tanganku.
“Maafin
gue juga gara – gara gue jalan ga liat – liat.” Ujarku tulus. Gadis itu
mengangguk pelan. Wajah gadis ini sebenarnya manis, tapi sangat pucat,
rambutnya pun tipis, serta tubuhnya sangat ringkih. Apakah dia juga mengidap
penyakit yang parah? Tanyaku dalam hati.
“Iya...Permisi.”
Gadis itu berbalik dan berjalan menjauhiku, namun beberapa detik kemudian, saat
aku masih memandang punggunya. Gadis itu tampak linglung, lalu jatuh menghempas
lantai. Aku segera berlari kearahnya dan menggotongnya mencari suster. Jalan
yang aku lalui ini sangat sepi.
***
“Dia
ini pasien dirumah sakit yang sudah dirawat selama sebulan ini, Mas. Orangnya
hiperaktif, gak mau diem dan istirahat, suster – suster udah coba kasih tau
berkali – kali, tapi tetep aja bandel. Infusnya dicabut dan dia pergi.” Jelas
seorang suster padaku perihal gadis tadi.
“Dia
sakit ginjal ya?” tanyaku.
“Iya,
sakit ginjal... ginjalnya sudah tinggal satu, dan ternyata satu ginjalnya ini
juga rusak.” Seketika itu juga perasaan prihatin menyergapku.
“Suster
berarti harus lebih protektif lagi jagain dia, jangan sampai keadaan kayak gini
berulang lagi. Saya permisi dulu ya.” Ujarku sambil meninggalkan kamar rawat
gadis itu.
***
Keesokan
harinya, sepulangnya aku dari sekolah. Aku segera menuju rumah sakit. Aku ingin
menemani dan menghibur Sandara, bukankah saat kau berada dalam posisi yang
lemah dan menderita, kau selalu berharap orang yang kau cintai akan ada
untukmu, disisimu? Maka itu aku akan selalu menemani Sandara. Aku berjalan di
koridor rumah sakit sambil membawa 5 tangkai bunga lily kesukaan Sandara yang
sudah dirangkai menjadi sangat bagus. Tiba – tiba mataku kembali terpaku pada
seorang gadis. Gadis yang aku lihat kemarin. Gadis itu tengah duduk disamping
seorang anak kecil yang botak dalam balutan piyama rumah sakit, tertawa,
berbicara entah apa, lalu berdiri dan menggerak – gerakkan badannya, anak kecil
botak itu kemudian tertawa. Mereka tertawa bersama seolah sangat bahagia. Gadis
itu... gadis dengan satu ginjal yang sudah rusak, tapi mengapa masih sangat
nakal? Melepas infusnya dan pergi bermain keluar kamar. Pandangan mataku dan
dia bertemu. Dia memandangku beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum. Dia
lalu membisikkan kata – kata pada anak kecil botak itu, anak kecil botak itu
kemudian mengangguk, dan dia berjalan menghampiriku.
“Hai...”
Ucapnya sambil tersenyum. Aku membalas
senyumnya.
“Hai.”
“Kamu
yang nolongin aku kemarin? Makasih ya, maaf aku udah ngerepotin kamu.” Katanya
dengan tulus.
“Lo
itu sakit, harusnya lo istirahat dikamar biar cepet sembuh.” Kataku. Dia
tersenyum.
“Istirahat aja gak akan bikin aku sembuh. Lebih baik sebelum aku meninggal, aku menikmati hidup ini. Kenalan sama banyak orang yang Tuhan ciptakan, menghirup udara luar sebanyak – banyaknya, serta melihat banyak hal yang mungkin nanti gak akan bisa aku liat.”
“Istirahat aja gak akan bikin aku sembuh. Lebih baik sebelum aku meninggal, aku menikmati hidup ini. Kenalan sama banyak orang yang Tuhan ciptakan, menghirup udara luar sebanyak – banyaknya, serta melihat banyak hal yang mungkin nanti gak akan bisa aku liat.”
“Lo
ini siapa sih?” Aku menaikkan alisku. Heran dengan perilaku gadis seperti ini.
“Namaku
Happy...panggil aja aku Happy... kamu disini jenguk siapa? Bunganya bagus.”
Katanya sambil tersenyum. Gadis ini selalu tersenyum. Senyumnya hanya senyum
biasa, namun keceriaan dan ketulusannya, membuat senyum terlihat sangat manis.
“Oh,
gue Revan. Iya gue disini mau jengukkin pacar gue. Pacar gue suka bunga ini, eh
gue permisi dulu ya, mau nemenin pacar gue.” Kataku sambil berlalu. Gadis itu
lalu kembali bermain bersama anak kecil botak tadi. Nama yang disebutkannya
terus berputar dalam benakku.. happy...happy...happy... nama yang sangat sesuai
dengan pribadinya yang terlihat
***
“Sandara?”
Aku masuk kedalam kamar rawat Sandara dan aku langsung melihat gadis yang aku
cintai itu sedang duduk sambil menitikkan air matanya. Disampinya, ada Mamanya
yang menggenggam tangannya sambil membelai rambutnya.
“Hai,
Tante... Sayang, liat aku bawain bunga lily buat kamu. Aku taruh disini ya.”
Kataku sambil meletakkan bunga lily itu disamping brankarnya.
“Tante,
keluar dulu... Sandara bilang ingin bicara berdua sama kamu, Revan.” Kata Mama
Sandara seraya keluar dari kamar. Setelah Mamanya keluar. Sandara menatapku
dengan mata yang berkaca – kaca. Perasaanku langsung terenyuh saat melihat air
matanya. Kepanikan langsung melanda diriku seketika itu juga.
“Kamu
kenapa, Sayang?” Aku langsung menyeka air matanya, tapi dia menghindar.
“Revan...
aku ingin bicara.. kamu duduk aja...” Katanya sambil menyeka air matanya
sendiri. Aku langsung duduk dikursi. Berdebar – debar menanti apa yang akan ia
katakan, sepertinya ini bukan tentang hal baik.
“Ada
apa?” Tanyaku.
“Kamu
tau apa yang paling aku inginkan? Aku punya sesuatu yang sangat aku inginkan
dan aku berharap kamu akan mampu memenuhinya.” Katanya dengan tenang, tanpa
menatapku sama sekali. Aku menyentuh tangannya dan secepat itu pula dia menarik
tangannya dari tanganku. Ada apa dengan Sandara?
“Ada
apa sih? Kamu lagi kenapa?”
“Aku
mau hubungan kita sampai disini! Aku mau kamu pergi dari hidupku. Biar aku
konsen sama penyakitku dan kamu bisa raih mimpi kamu. Mimpi kamu adalah menjadi
seorang pelukis kan... karena kamu terlalu sibuk mengurus aku, kamu mengabaikan
mimpi kamu. aku ga mau menjadi seorang yang egois, jadi aku minta.... kamu
pergi.” Kata – katanya bagai palu besar yang menghantam kepalaku lalu
menghimpit dadaku.
“Kenapa?
Kenapa kamu tiba – tiba memintaku pergi... kamu tau bahwa aku mencintaimu. Kamu
juga tau kalau aku gak bisa tanpa kamu, Sandara.” Ujarku frustasi. Aku sama
sekali tidak bisa jauh dari Sandara.
“Karena
aku akan mati, aku akan meninggalkanmu... aku tak ingin kamu lebih banyak
membuang waktu untuk gadis lemah sepertiku. Pergi Revan...!” Sandara mulai
mengatakannya dengan emosi. Mama Sandara segera masuk kedalam kamar dan
menarikku keluar.
“Tante,
minta maaf Revan, hanya saja sejak tadi pagi, Sandara gak ingin bertemu kamu...
dia gak mau menyusahkan kamu, dia gak mau kamu terus – terus menjaga dia...kamu
punya hidup kamu sendiri... biarin Sandara sendiri dulu ya, Revan... Tante gak
mau dia sampi stress dan emosi gara – gara ini. Tante gak mau keadaannya semakin
memburuk.” Kata Mama Sandara. Aku benar – benar berada dalam posisi yang sulit.
Aku sama sekali gak ingin hubunganku berakhir seperti ini, namun memaksa
Sandara adalah hal yang buruk, membuatnya emosi, stress, dan histeris akan
sangat berbahaya bagi kondisinya.
“Revan
mengerti...” Akhirnya itulah kata yang terucap dari mulutku. Aku pamit pulang
dengan keadaan yang sangat kacau. Di lorong rumah sakit saat aku berjalan
pulang aku ternyata kembali bertemu dengan Happy dan gadis itu masih dengan
senyum yang sama, menyapaku lagi.
“Hai.”
“Hai
juga.” Kataku dengan lesu.
“Kamu
terlihat sangat tidak bersemangat. Ada apa?” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Tidak
ada apa – apa.”
“Hidup
terlalu singkat untuk tidak kamu nikmati.”
“Gue
sangat mencintai pacar gue, gue ingin dia sembuh dari penyakit jantungnya, gue
ingin dia segera mendapat donor, karena gue sama sekali gak bisa hidup tanpa
dia.”
“Benarkah?
Kamu gak bisa hidup tanpa dia?” Pandangan Happy terlihat aneh. Tapi, pandangan
sendu mata itu, aku merasa pernah melihatnya.
“Iya...
andai ada cara, gue pasti lakuin...Cuma buat nyelamatin Sandara. Gue permisi
pulang dulu ya.. cepet sembuh..” Kataku sambil menepuk pundak Happy.
***
Berhari
– hari berlalu dan aku terus mencoba datang kerumah sakit menemui Sandara, walau
ternyata aku ditolak dan diusir olehnya. Kesabaranku mulai habis dan mencapai
titik jenuh. Aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Sandara, menyuruhku
menjauh darinya hanya akan membuat kita berdua tersiksa dan menderita. Aku
duduk diruang tunggu rumah sakit, Sandara masih menolak menemuiku dan aku tidak
ingin memaksanya. Saat itu Happy kembali datang. Keadaannya terlihat lebih
buruk dari saat terakhir aku melihatnya.
“Lo baik – baik aja?” Tanyaku saat Happy berdiri
dihadapanku. Gadis itu hanya mengangguk pelan, lalu tersenyum seolah semua baik
– baik saja.
“Iya...
kamu yang terlihat tidak baik – baik saja.” Ujarnya. Aku mengangguk lesu.
“Memang...
gue memang gak baik – baik aja. Ini udah hari ke lima dan Sandara masih gak mau
menemui gue. Gue pingin disisinya, tapi dia gak mau gue disisi dia.”
“Apa
sih yang sebenernya kamu liat dari pacar kamu?” Tanya Happy sambil duduk
disebelahku.
“Tidak
tau.. gue hanya mencintainya, gue hanya merasa kalau gue sangat mencintainya
dan gak mau kehilangan dirinya. Memang bukan alasan yang jelas, tapi cinta pun
bukan sesuatu yang dapat dijelaskan secara ilmiah kan, setiap orang punya cinta
dan mereka akan mencintai dengan caranya sendiri.”
“Sandara
itu sangat beruntung punya pacar seperti kamu. Seseorang yang bisa mencintai
dia dan mengerti dia sampai seperti itu.”
“Hmm...Happy,
boleh gue tanya sesuatu gak sama lo?” Ujarku akhirnya. Aku merasa sangat ganjil
dengan gadis ini.
“Apa?”
Tanyanya dengan santai.
“Lo
disini cuma sendirian? Soalnya gue...maaf... ga pernah liat orang tua lo, dan
lo bisa segini bebasnya jalan – jalan di lorong rumah sakit, kenapa?”
“Hahaha...
kirain mau tanya apa... suatu saat juga kamu bakal tau jawabannya.. sebelum
waktunya kamu buat tau, aku gak akan kasih tau kamu.” Dia mencibir dan aku semakin
merasa aneh dengan gadis ini.
***
“Revan, Mama mau bicara.” Mamaku menepuk
bangku disebelahnya saat aku masuk kedalam rumah dan menemukan Mama sedang
duduk disofa ruang keluarga. Aku mengangguk dan segera beranjak duduk disebelah
Mama. Mama memandangku dengan tatapan prihatin, kesal, dan tatapan yang aku tak
mengerti apa maknanya.
“Kenapa,
Ma?” Tanyaku.
“Mama
merasa kamu sangat menderita Revan. Ada beban yang sedang kamu pikul. Mama gak
mau melihat kekacauan kamu terus berlanjut. Ulangan hancur, sekolah berantakan,
melukis yang merupakan bakat dan minat kamu pun tidak kamu teruskan lagi.
Dengar Revan, Mama mengerti apa yang sedang kamu hadapi. Kamu mencintai
Sandara, kalian pacaran, dan sekarang pacarmu itu sedang sakit keras, tapi
bukan berarti semua itu adalah alasan untuk menjadi seperti ini. Mama kecewa dengan kamu.” Kata Mama panjang
lebar. Mama terlihat sangat sebal dan marah padaku.
“Ma...Revan...
Revan minta maaf ya.. tapi, Revan juga gak mengerti kenapa jadi seperti ini.”
“Mama
gak mau melihat kamu datang kerumah sakit lagi, sebelum semua nilai kamu yang
hancur kamu perbaikki. Mulai besok kamu diantar jempur supir. Langsung pulang
dan tidak ada acara kerumah sakit. Mama tidak bisa dibantah!” Aku memang sudah
tidak boleh menemui Sandara lagi, tapi aku masih ingin terus datang, walau
hanya dapat melihatnya dari jendela kaca yang ada di pintu, sekarang Mama
melarangku. Kenapa jadi sesulit dan serumit ini? Aku takut kehilangan Sandara,
Mama... makanya aku ingin menghabiskan waktu bersamanya terus... tapi kenapa
semua jadi melarangku... cinta saja memang tidak cukup untuk membuat segalanya
terlihat baik – baik saja.
“Ma,
apa gak bisa...”
“Gak
ada toleransi... perbaikki nilai kamu dulu.” Mama memotong pembicaraanku.
Sekaran aku hanya bisa berlalu kekamar dengan kekacauan yang bertambah.
***
Aku
sudah menahan segala perasaan rinduku selama tiga hari ini. Aku sama sekali
tidak kerumah sakit, tapi aku belajar serius untuk memperbaikki nilaiku yang
jelek karena masalah yang terjadi, tapi hati dan pikiranku masih tetap tidak
tenang. Akhirnya, hari ini aku terpaksa kabur dari sekolah dan menuju rumah
sakit. Aku berjalan dikoridor rumah sakit sambil menggendong tas punggungku.
Saat itu seorang suster berjalan menghampiriku.
“Mas,
ada titipan...” Suster itu menyodorkan sepucuk surat kearahku. Aku sempat
kebingungan mengapa aku bisa mendapat surat itu, tapi kemudian suster itu
berkata...
“Itu
dari Mbak Sas...eh, Happy, Mas...”
“Makasih.”
Kataku. Aku mencari – cari gadis ajaib itu disekitar rumah sakit sebelum
bertemu Sandara, tapi ternyata aku tidak bertemu dengannya lagi semudah saat
aku tidak sengaja bertemu dengannya. Semua tentang gadis itu – Happy – seperti
kepingan puzzle yang tidak sempurna
dan aku ingin sekali mencari pelengkapnya. Aku ingin menyempurnakan kisah gadis
itu agar aku mengerti tentang dirinya yang aneh itu. Aku mengantongi surat itu,
belum berniat untuk membacanya. Aku masuk kedalam kamar rawat Sandara. Anehnya,
setelah lebih dari seminggu tidak bertemu, sekarang dia menyambutku dengan senyuman.
“Sayang,
kamu dateng lagi? Maafin aku.” Sandara langsung menangis. Aku mendekatinya dan
langsung memeluknya, betapa aku sangat merindukannya.
“Aku
akan terus datang untuk kamu.... tapi, 3 hari kemarin gak bisa... sekarang aku
datang lagi karena gak bisa gak ketemu kamu... sebenarnya kamu ini kenapa sih,
San? Kamu kan tau aku sayang sekali sama kamu.” Aku membelai lembut rambutnya.
Beban yang hampir seminggu lebih aku tanggung seolah terangkat sudah begitu
Sandara kembali.
“Aku
cuma gak mau merepotkan kamu terus... aku kira, aku akan kehilangan kamu, tapi
ternyata aku salah... Tuhan sudah membuka jalan untuk kita... aku dapet donor
jantung dan itu artinya aku bisa sembuh, Sayang.” Kata Sandara. Aku langsung
memeluknya lagi, itu adalah berita yang paling menggembirakan. Setelah sekian
lama mencari, akhirnya Sandara bisa mendapat donor yang cocok... Tuhan, aku tau
rencanaMu akan indah pada waktunya...terimakasih Tuhan...terimakasih...
“Hari
ini... jam tujuh malam... aku akan operasi pencangkokan jantung.”
***
Revan Adithya... seorang murid SMA
Harapan yang tampan dan karismatik... cowok yang banyak digilai gadis – gadis,
tapi tidak satupun dari mereka dapat merebutmu dari Sandara Aprilia Winata...
aku adalah seseorang yang telah menyita banyak waktuku hanya untuk melihat
tentang dirimu. Sejak pertama kali melihat...aku mencintaimu, tapi ternyata...
aku memang tidak ditakdirkan untuk bersama denganmu...penyakit ginjal ini
datang dan aku terpaksa harus pergi keluar negeri untuk berobat. Aku terpaksa
mengubur semua kenangan tentang dirimu dan melupakanmu untuk bertahun –
tahun... tapi, ternyata Tuhan punya rencana.. saat aku kembali dan sebulan
sudah menjalani perawatan di Rumah Sakit Pelita... aku kembali dipertemukan
denganmu. Saat pertama kali melihat, aku sudah tau bahwa kamu adalah orang yang
aku kagumi bahkan masih aku cintai... dan disini aku banyak melihat sisi lain
dari dirimu... kamu adalah seorang yang benar – benar mengerti apa arti cinta
yang sesungguhnya. Aku terus memperhatikanmu diam – diam selama dirumah sakit.
Suster yang merawatku, membantuku untuk ‘melihat’ dirimu... saat kamu bertanya
tentang siapa namaku, aku bilang namaku Happy, padahal bukan... Namaku yang
sebenarnya adalah Sashalicia Pratama, aku adalah anak dari dokter Andri
Pratama... aku memang bukan anak yang baik, aku ini anak nakal... aku tidak
suka mengakui bahwa aku sakit, makanya aku mencabut infusku berulang – ulang
dan kabur bermain.. tindakanku memang salah, Papa dan suster selalu marah
padaku, tapi aku tidak perduli. Aku hanya ingin melakukan hal yang aku sukai...
aku ingin bergaul dengan orang dirumah sakit ini, bukan hanya diam dan
berbaring diatas brankar menunggu waktu tiba. Aku sangat sedih saat tau dan
melihat betapa kacaunya kamu saat Sandara menolak bertemu denganmu. Aku sangat
tau apa yang kamu ingingkan didunia ini, yaitu kesembuhan Sandara...Aku
mencintaimu Revan... aku ini adalah orang yang mencintaimu tanpa pernah kamu
lihat... tapi, kamu bilang bahwa “...cinta pun bukan sesuatu yang dapat
dijelaskan secara ilmiah kan, setiap orang punya cinta dan mereka akan
mencintai dengan caranya sendiri.” Maka, itu aku ingin mencintaimu dengan
caraku sendiri, membahagiakanmu dengan hal – hal yang memang bisa aku
lakukan... aku sudah lelah dengan hidupku... setiap hari aku berharap bahwa
‘saat itu’ tiba. Saat dimana kau bisa melepaskan segalanya. Aku lelah harus
menjalani cuci darah setiap hari... aku lelah menahan rasa sakit yang muncul...
maka, aku memohon pada Papaku... memohon dengan sangat supaya aku diizinkan
mendonorkan jantungku untuk Sandara...agar setidaknya aku bisa berguna untuk
orang lain... atau aku bisa menjadi bagian dari orang yang kamu cintai...
setidaknya aku juga turut merasakan cinta darimu yang begitu tulus dan
sempurna... Tuhan sangat mengizinkan rencanaku ini... saat di tes...Jantungku
cocok dengan Sandara...aku tau Tuhan merestuiku... maka, aku dengan sangat rela
mendonorkannya untuk Sandara... selamat tinggal ya, Revan...aku sangat
mencintaimu.. aku adik kelasmu di SMA yang selalu melihatmu, tapi tidak pernah
kamu lihat...diakhir hidupku aku mendapat kesempatan untuk bisa berbicara
denganmu... aku sangat bahagia... semoga kamu juga bahagia... aku tulus melakukan
ini untuk kamu... kamu jaga baik – baik jantungku yang menjadi penyambung hidup
Sandara ya...
With Love
Happy
Surat
itu sudah aku terima dari beberapa bulan yang lalu, tapi aku terus membacanya.
Aku sangat terharu... ada orang yang begitu mencintaiku sampai rela
mengorbankan nyawanya untuk membahagiakan aku. Segalanya sudah menjadi lebih
baik sekarang. Berkat Jantung Happy, Sandara bisa bertahan dan sembuh... aku
masih sangat menyayangkan kenapa harus Happy yang melakukan...jika, ada
kesempatan tentu aku ingin membina hubungan baik dengannya, tapi dia
pergi...menghilang... hanya meninggalkan sepucuk surat yang menjelaskan
semuanya. Kali pertama aku membaca surat itu, aku langsung kerumah sakit lagi,
mencari dimana Happy berada, tapi aku sama sekali tidak menemukannya, bahkan
saat operasi pun... aku tidak mengerti kenapa aku tidak bisa bertemu atau
melihatnya sebentar saja...dia sama sekali tidak ada... dokter yang bernama
Andri Pratama, juga tidak bisa aku temui... ini seperti sebuah misteri...
“Sayang,
kamu melukis apa sih kok sambil bengong gitu?” Sandara menghampiri aku yang
sedang melukis ditaman belakang. Aku segera melipat surat dari Happy dan
memasukkannya dalam saku bajuku.
“Siapa
dia?” Tanya Sandara... ia memandang heran lukisanku. Seorang gadis dengan
senyum yang sangat manis.
“Ini
Happy... inilah wajah orang yang udah mendonorkan jantungnya buat kamu.”
jelasku.
“Kok
kamu bisa tau?”
“Aku
tau aja... pokoknya jantung yang sekarang berdetak didalam tubuh kamu adalah
jantungnya dia.” Kataku lagi. Sandara tersenyum manis... sekarang dia terlihat
berbeda...senyumnya..cara senyum Sandara sekarang adalah seperti cara Happy
tersenyum.
*END*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar